MENYATUKAN NILAI-NILAI SUBKULTUR
Dalam masa transisi, manusia-manusia
pada suatu institusi mengalami adanya suatu tekanan-tekanan seperti ;
ketakutan, kecemasan, dan ketidak percayaan yang dapat merenggangkan ikatan
pada suatu institusi. Sehingga terjadi adalah para karyawan akan lebih
meningkatkan ikatan emosional mereka pada kelompoknya masing-masing. Akibatnya
timbul nilai-nilai perlawanan dan ikatan yang kuat pada subkultur , bukan pada keseluruhan institusi. Semua itu dapat terjadi karena manusia memerlukan “pegangan” dalam
dalam menghadapi ketidakpastian. Transformasi nilai-nilai dalam suatu
organisasi tidak dapat langsung dilakukan melalui kultur organisasi itu sendiri
akan tetapi transformasi nilai-nilai organisasi perlu menyentuh akar budaya itu
sendiri, yaitu nilai-nilai subkultur.
PERUBAHAN
TIDAK BERBENTUK LINEAR
Transformasi organisasi yang
dilakukan dengan menyeluruh nilai-nilai organisasi perlu mempertimbangkan
berbagai kemungkinan yang akan muncul dari sisi manusia. Jadi, perlu disadari
bahwa tingkat kemajuan yang dicapai dalam perubahan dapat berbentuk spiral.
Artinya, dalam proses transformasi nilai-nilai, seseorang tidak hanya
berhadapan dengan satu-dua orang atau kelompok, akan tetapi puluhan kleompok.
Masing-masing kelompok dapat bereaksi tidak hanya terhadap stimulus perubahan
dari atasannya saja, tetapi juga terhadap respon-respon kelompok-kelompok
(subkultur) lainnya. Beberapa kelompok mendukung, tapi lainnya menolak, bahkan
enggan menerima. Hal tersebut disebabkan karena manusia bergerak dengan
naluri-naluri dan pikiran-pikiranny sendiri, bukan selalu dengan apa yang sudah
digariskan dalam rencana. Akibatnya, transformasi nilai-nilai menjadi tampak
kacau dalam prosesnya. Dengan demikian secara singkat model mental berbentuk nonlinear memberikan pesan bahwa untuk
setiap satu langkah ke depan, seseorang mungkin harus kembali dua langkah ke
belakang. Adakalanya seseorang harus membawa pulang kereta yang sudah berjalan,
dan memasukannya ke bengkel untuk diperbaiki, sebelum meletakannya kembali pada
tracknya.
MEMETAKAN
SUBKULTUR DALAM ORGANISASI
Pada masa transisi, baik budaya
perusahaan maupun institusi terpecah-pecah kedalam budaya kelompok-kelompok
sehingga budaya korporatnya sulit untuk dikenal. Contohnya di
dunia pendidikan misalnya disebuah universitas negeri, terlihat budaya
yang berbeda antara fakultas yang satu dengan fakultas lainnya. Masing-masing fakultas
tersebut masih terdapat subkultur-subkultur lain yang dibentuk oleh
kumpulan-kumpulan orang pada masing-masing jurusan. Sering dikatakan tak ada
lulusan uneversitas “X”, karena para alumnusnya enggan memberikan sumbangan
pada level universitas. Karena mereka hanya loyal dan bersedia membantu pada
level fakultas. Contoh lain di perusahaan, semakin besar suatu perusahaan dan
semakin terdiversifikasi produk dan pasar suatu perusahaan maka semakin besar
timbul subkultur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia-manusia yang
berada dalam suatu institusi yang sedang mengalami transisi, mereka memiliki
dunia mereka sendiri, mulai dari cara mereka berbicara, berpakaian, dan
mengambil keputusan sangat mungkin berbeda-beda satu sama lainnya.
Tantangan
untuk menemukan nilai nilai kolektif
Kita
tentu tidak mungkin menghapus nilai nilai pada setiap substruktur dan memaksa
semuanya menerima satu tatanan nilai yang seragam. Tugas kita pertama-tama
adalah mengakui keragaman itu dan mengangkatnya ke permukaan sebagai suatu
kekayaan institusi.
Tantangan terbesar seorang
transformer nilai-nilai adalah mencari cara terbaik untuk menggabung-gabungkan
nilai-nilai tersebut ke dalam suatu alunan musik yang indah didengar oleh
telinga.kalau yang satu terlalu dominan, anda harus sedikit menurunkannya, dan
meningkatkan yang lain. Semua ini menuntut kesabaran, ketekunan, kecerdasan,
dan tentu saja integritas. Tanpa integritas, masing-masing kelompok
(substruktur) akan sangat ingin mengedepankan nilai-nilai kelompoknya
masing-masing. Semangat mencari konsensus untuk memperoleh sebuah makna
kolektif memerlukan proses pencarian seperti yang dijelaskan di Bab 5 (Melihat,
bergerak, dan menyelesaikan perubahan) dan Bab 6 (Seeing is believing atau
believing is seeing).
Perjalanan, mulai dari mengajak
mereka semua melihat, percaya, bergerak, dan merumuskan nilai-nilai kolektif,
adalah sebuah proses yang panjang, meletihkan, penuh dengan detail, dan tidak
mudah.
Memotret
Subkultur
Untuk
memetakan subkultur, anda harus memotret seluruh subkultur itu. Tetapi memotret
subkultur bukanlah sesuatu yang mudah. Subkultur bukanlah sesuatu yang bersifat
tangible (dapat dipegang dan dilihat
secara kasatmata). Subkultur yang lemah tidak akan tampak di depan lensa kamera
anda. Dan subkultur yang dominan dapat saja merupakan sub dari
subkultur-subkultur lainnya.
Berikut
masalah dalam memotret subkultur :
Pemimpin
perubahan
1. Orang
lama dari dalam perusahaan (Pejabat karier)
2. Orang
yang sama sekali baru (biasa berkarier diluar perusahaan/institusi)
3. Orang
asing (stranger)
Masalah
·
Kemungkinan besar terlihat jelas, tetapi
bias oleh kacamata fungsinya.
·
Memerlukan waktu yang lama untuk
mengenal betul sub-sub kultur
·
Kemungkinan besar menerima informasi
bias dari tokoh-tokoh kunci
·
Kemungkinan kurang peduli dengan
subkultur-subkultur.
Oleh
karena itu, pemimpin perubahan tidak bisa bekerja sendiri. Ia perlu dibantu
oleh sebuah team yang terdiri dari 8-10 orang dan tergabung dari berbagai
bagian yang merasa “masih punya hari esok yang lebih baik” di perusahaan.
Dalam memotret
subkultur diperlukan beberapa alat bantu, seperti :
1. Bagan
organisasi beserta perubahan-perubahannya dalam sepuluh terakhir.
2. Carrier
track dari tokoh-tokoh kunci, baik formal maupun informal.
3. Hubungan
kerja serta bisnis organisasi.
4. Forum-forum
diskusi yang melibatkan berbagai kelompok.
Pemotretan
dilakukan dengan beberapa observasi dan field study, di samping tentu saja
survei, wawancara mendalam, dan teknik-teknik riset lainnya. Tujuannya adalah
memetakan mereka dan mengambil nilai-nilai yang mereka anut.
Anda akan menemukan dua jenis subkultur.
Yang pertama adalah subkultur yang sangat jelas kediriannya. Mereka yang
terbentuk sebagai akibat kurangnya perhatian manajemen terhadap nilai-nilai
keseluruhan institusi, sementara medan yang mereka hadapi penuh dengan ketidak
pastian.
Kelompok kedua adalah kelompok subkultur
yang kurang menonjol sehingga tidak begitu menampakkan nilai-nilai. Misalnya
saja, nilai-nilai agresivitas, competitiveness, teamwork, dan persuassion
justru tidak tampak dalam team pemasaran suatu perusahaan.
Tugas
anda di sini adalah memperoleh dan membentuk nilai-nilai positif pada
masing-masing unit menurut cara masing-masing subkultur. Dnegan memahami,
mengakui, dan menimbulkan nilai-nilai tersebut anda telah menyentuh unsur yang
oaling dalam dari sebuah bongkahan es yang terendam di lautan. Unsur itu adalah
invisible artifacts, yaitu nilai-nilai dasar, keyakinan, dan asumsi-asumsi yang
di anut oleh subkultur-subkultur.
Merajut
Nilai-Nilai Subkultur menjadi Budaya Korporat
Untuk menyatukan nilai-nilai budaya
yang dominan dalam masing-masing subkultur atau membuat sebuah pernyataan
budaya menjadi kaya nilai dan bermakna, maka harus dirumuskan dengan
memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Harus
dialogis. Penyatuan nilai disusun dengan mempresentasikan nilai pada masing2
subkultur dan subkultur lainnya.
2. Harus
partisipatif. Presentasi disajikan oleh pemilik nilai tersebut.
3. Harus
memberikan ruang terhadap “Buy-in Proccess”. Proses harus bisa membuat semua
pihak merasa memiliki, maka mereka akan memakainya dan menjual pada yang lain.
4. Harus
kaya cerita. Supaya bermakna maka usahakanlah memakai kalimat cerita karena
mampu membuat manusia berimajinasi tentang organisasinya.
5. Harus
praktis dan mampu dijabarkan ke dalam elemen-elemen budaya. Pernyataan budaya
harus dapat diturunkan ke dalam bentuk-bentuk praktis yang menjwai apa yang
tersirat.
6. Harus
orisinal dan berbeda. Peryataan budaya harus berasal dari sebuah proses sejarah
asli institusi tersebut.
Maka untuk merumuskan budaya korporat membutuhkan
keterlibatan semua pihak untuk merumuskan semacam common grounds di antara
subkultur dan merajutnya ke dalam ikatan bersama. Proses seperti ini
membutuhkan kepemimpinan yang kuat, konsisten, dan jelas sasarannya. Salah satu
caranya adalah membangun gugus-gugus tugas, kemudian dipertemukan ke dalam
semacam forum bisnis perusahaan.
Visioning:
proses menyatukan nilai-nilai budaya korporat
Visioning
adalah sebuah proses menyatukan nilai yang ada adalam setiap subkultur menjadi
rumusan budaya yang diterima semua pihak. Terdapat tiga tahap sebagai berikut:
a. Merumuskan
nilai setiap subkultur
b. Membawa
nilai tersebut ke dalam forum untuk merumuskan nilai bersama
c. Memperkaya
nilai dan visi organisasi lalu merumuskan ke dalam strategi budaya
Untuk tahap kedua dimulai dengan membangun
kepercayaan di antara blok-blok subkultur yang dibarengi dengan presentasi dan
diskusi dalam forum bisnis lintas subkultur, yang membahas hal sebagai berikut:
·
Asal mula nilai pada
suatu kelompok
·
Jati diri kelompok
·
Symbol-simbol kelompok
·
Kisah selama bekerja
·
Ritual kelompok
·
Bahasa
·
Disiplin
·
Cara kerja
·
Pandangan terhadap
kelompok lain
·
Pandangan dua tahun ke
depan
·
Pandangan lima dan
sepuluh tahun ke depan
·
Kontribusi budaya subkultur.
Hal-hal yang akan dibahas tersebut di atas nantinya
akan dijabarkan ke dalam berbagai pertanyaan analitik.
Tujuan visioning yaitu
untuk menemukan nilai-nilai, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, pandangan-pandangan
dari setiap subkultur untuk dipakai membentuk kultur baru.
Rumusan budaya korporat
sebuah team untuk menganalisis dan membentuk semacam draft budaya korporat,
memuat:
1. Nilai-nilai
utama serta asumsi-asumsi dasar manusia korporat. Nilai-nilai utama dan
asumsi-asumsi dasar membentuk cara pandang yang menjadi tuntutan bagi setiap
manusia yang tergabung dalam konstitusi.
2. Asal
mula nilai-nilai tersebut, untuk dijadikan latar belakang untuk menghadapi
keadaan internal maupun tekanan eksternal dan upaya-upaya untuk menenangkannya.
3. Visible
artifacts yang masih erlevan dan harus di bentuk. Visible articrafts yang
dimaksu seperti ritual, simbol-simbol, bahasa, kisah(cerita),
seremoni-seremoni, slogan, dsb yang dimabil dari karyawan.
4. Rekomendasi
untuk menyatukan nilai-nilai tersebut, hambatan-hambatan yang mungkin muncul.
5. Rekomendasi
tentang nilai-nilai dan kebiasaan yang harus dibuang.
6. Daftar
tabu (hal-hal yang dilarang) sebagai karyawan/pimpinan di korporat.
Menyatukan
nilai-nilai subkultur
·
Subkultur adalah ikatan
emosional yang berupa ikatan-ikatan kelompok kerja, jender, ethnic group ataupun kesamaan almamater,
di mana hal tersebut ada karena kesamaan yang melatarbelakangi adanya sesuatu
yang berbeda.
·
Transformasi
nilai-nilai organisasi perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada,
yaitu dengan menyentuh akar budaya dinamika pergerakan massa agar mudah untuk
diterima oleh semua subkultur organisasi yang ada dengan melalui pendekatan
nilai-nilai subkultur.
·
Pemimpin perlu
menyiapkan langkahnya atas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terhadap
dinamika pergerakan subkultur.
·
Pemetaan
kelompok-kelompok subkultur akan membantu menemukan penggabungan-penggabungan
nilai kolektif subkultur yang terbentuk. Terdapat empat tahapan dalam menemukan
nilai-nilai kolektif: melihat, percaya, bergerak, dan menyelesaikan.
·
Memotret subkultur memerlukan
beberapa alat bantu dalam penggalian informasi seperti bagan organisasi beserta
perubahan-perubahannya dalam sepuluh tahun terakhir, carrier tracdik dari
tokoh-tokoh kunci baik formal maupun informal, forum-forum diskusi yang
melibatkan berbagai kelompok, dan hubungan kerja eksternal organisasi.
·
Pemotretan dilakukan
dengan beberapa observasi, field study, survei, wawancara mendalam, dan
teknik-teknik riset lainnya. Pemotretan bertujuan untuk memetakan mereka dan
mengambil nilai-nilai yang mereka anut dan dirajut untuk disatukan menjadi satu
rumusan budaya yang diterima semua pihak (visioning).
·
Tujuan visioning yaitu
untuk menemukan nilai-nilai, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, pandangan-pandangan
dari setiap subkultur untuk dipakai membentuk kultur baru. Proses visioning
terdiri dari tiga tahapan:
1. Merumuskan
nilai-nilai masing-masing subkultur.
2. Membawa
nilai-nilai subkultur tersebut ke dalam forum untuk merumuskan nilai-nilai
bersama dan membangun kepercayaan di setiap subkultur yang berbeda.
3. Memperkaya
nilai-nilai dan visi perusahaan ke depan dan merumuskannya ke dalam strategi
budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar