Rabu, 23 Mei 2012

RESUME BAB 11



MENYATUKAN NILAI-NILAI SUBKULTUR

            Dalam masa transisi, manusia-manusia pada suatu institusi mengalami adanya suatu tekanan-tekanan seperti ; ketakutan, kecemasan, dan ketidak percayaan yang dapat merenggangkan ikatan pada suatu institusi. Sehingga terjadi adalah para karyawan akan lebih meningkatkan ikatan emosional mereka pada kelompoknya masing-masing. Akibatnya timbul nilai-nilai perlawanan dan ikatan yang kuat pada subkultur , bukan pada keseluruhan institusi.  Semua itu dapat terjadi  karena manusia memerlukan “pegangan” dalam dalam menghadapi ketidakpastian. Transformasi nilai-nilai dalam suatu organisasi tidak dapat langsung dilakukan melalui kultur organisasi itu sendiri akan tetapi transformasi nilai-nilai organisasi perlu menyentuh akar budaya itu sendiri, yaitu nilai-nilai subkultur.

PERUBAHAN TIDAK BERBENTUK LINEAR
            Transformasi organisasi yang dilakukan dengan menyeluruh nilai-nilai organisasi perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan muncul dari sisi manusia. Jadi, perlu disadari bahwa tingkat kemajuan yang dicapai dalam perubahan dapat berbentuk spiral. Artinya, dalam proses transformasi nilai-nilai, seseorang tidak hanya berhadapan dengan satu-dua orang atau kelompok, akan tetapi puluhan kleompok. Masing-masing kelompok dapat bereaksi tidak hanya terhadap stimulus perubahan dari atasannya saja, tetapi juga terhadap respon-respon kelompok-kelompok (subkultur) lainnya. Beberapa kelompok mendukung, tapi lainnya menolak, bahkan enggan menerima. Hal tersebut disebabkan karena manusia bergerak dengan naluri-naluri dan pikiran-pikiranny sendiri, bukan selalu dengan apa yang sudah digariskan dalam rencana. Akibatnya, transformasi nilai-nilai menjadi tampak kacau dalam prosesnya. Dengan demikian secara singkat model mental berbentuk nonlinear memberikan pesan bahwa untuk setiap satu langkah ke depan, seseorang mungkin harus kembali dua langkah ke belakang. Adakalanya seseorang harus membawa pulang kereta yang sudah berjalan, dan memasukannya ke bengkel untuk diperbaiki, sebelum meletakannya kembali pada tracknya.    

MEMETAKAN SUBKULTUR DALAM ORGANISASI
            Pada masa transisi, baik budaya perusahaan maupun institusi terpecah-pecah kedalam budaya kelompok-kelompok sehingga budaya korporatnya sulit untuk dikenal.  Contohnya di  dunia pendidikan misalnya disebuah universitas negeri, terlihat budaya yang berbeda antara fakultas yang satu dengan fakultas lainnya. Masing-masing fakultas tersebut masih terdapat subkultur-subkultur lain yang dibentuk oleh kumpulan-kumpulan orang pada masing-masing jurusan. Sering dikatakan tak ada lulusan uneversitas “X”, karena para alumnusnya enggan memberikan sumbangan pada level universitas. Karena mereka hanya loyal dan bersedia membantu pada level fakultas. Contoh lain di perusahaan, semakin besar suatu perusahaan dan semakin terdiversifikasi produk dan pasar suatu perusahaan maka semakin besar timbul subkultur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia-manusia yang berada dalam suatu institusi yang sedang mengalami transisi, mereka memiliki dunia mereka sendiri, mulai dari cara mereka berbicara, berpakaian, dan mengambil keputusan sangat mungkin berbeda-beda satu sama lainnya.       

Tantangan untuk menemukan nilai nilai kolektif
Kita tentu tidak mungkin menghapus nilai nilai pada setiap substruktur dan memaksa semuanya menerima satu tatanan nilai yang seragam. Tugas kita pertama-tama adalah mengakui keragaman itu dan mengangkatnya ke permukaan sebagai suatu kekayaan institusi.
            Tantangan terbesar seorang transformer nilai-nilai adalah mencari cara terbaik untuk menggabung-gabungkan nilai-nilai tersebut ke dalam suatu alunan musik yang indah didengar oleh telinga.kalau yang satu terlalu dominan, anda harus sedikit menurunkannya, dan meningkatkan yang lain. Semua ini menuntut kesabaran, ketekunan, kecerdasan, dan tentu saja integritas. Tanpa integritas, masing-masing kelompok (substruktur) akan sangat ingin mengedepankan nilai-nilai kelompoknya masing-masing. Semangat mencari konsensus untuk memperoleh sebuah makna kolektif memerlukan proses pencarian seperti yang dijelaskan di Bab 5 (Melihat, bergerak, dan menyelesaikan perubahan) dan Bab 6 (Seeing is believing atau believing is seeing).
            Perjalanan, mulai dari mengajak mereka semua melihat, percaya, bergerak, dan merumuskan nilai-nilai kolektif, adalah sebuah proses yang panjang, meletihkan, penuh dengan detail, dan tidak mudah.
Memotret Subkultur
            Untuk memetakan subkultur, anda harus memotret seluruh subkultur itu. Tetapi memotret subkultur bukanlah sesuatu yang mudah. Subkultur bukanlah sesuatu yang bersifat tangible (dapat dipegang dan dilihat secara kasatmata). Subkultur yang lemah tidak akan tampak di depan lensa kamera anda. Dan subkultur yang dominan dapat saja merupakan sub dari subkultur-subkultur lainnya.
Berikut masalah dalam memotret subkultur :
Pemimpin perubahan
1.      Orang lama dari dalam perusahaan (Pejabat karier)
2.      Orang yang sama sekali baru (biasa berkarier diluar perusahaan/institusi)
3.      Orang asing (stranger)
Masalah
·         Kemungkinan besar terlihat jelas, tetapi bias oleh kacamata fungsinya.
·         Memerlukan waktu yang lama untuk mengenal betul sub-sub kultur
·         Kemungkinan besar menerima informasi bias dari tokoh-tokoh kunci
·         Kemungkinan kurang peduli dengan subkultur-subkultur.
     Oleh karena itu, pemimpin perubahan tidak bisa bekerja sendiri. Ia perlu dibantu oleh sebuah team yang terdiri dari 8-10 orang dan tergabung dari berbagai bagian yang merasa “masih punya hari esok yang lebih baik” di perusahaan.

 Dalam memotret subkultur diperlukan beberapa alat bantu, seperti :
1.      Bagan organisasi beserta perubahan-perubahannya dalam sepuluh terakhir.
2.      Carrier track dari tokoh-tokoh kunci, baik formal maupun informal.
3.      Hubungan kerja serta bisnis organisasi.
4.      Forum-forum diskusi yang melibatkan berbagai kelompok.
      Pemotretan dilakukan dengan beberapa observasi dan field study, di samping tentu saja survei, wawancara mendalam, dan teknik-teknik riset lainnya. Tujuannya adalah memetakan mereka dan mengambil nilai-nilai yang mereka anut.
      Anda akan menemukan dua jenis subkultur. Yang pertama adalah subkultur yang sangat jelas kediriannya. Mereka yang terbentuk sebagai akibat kurangnya perhatian manajemen terhadap nilai-nilai keseluruhan institusi, sementara medan yang mereka hadapi penuh dengan ketidak pastian.
      Kelompok kedua adalah kelompok subkultur yang kurang menonjol sehingga tidak begitu menampakkan nilai-nilai. Misalnya saja, nilai-nilai agresivitas, competitiveness, teamwork, dan persuassion justru tidak tampak dalam team pemasaran suatu perusahaan.
      Tugas anda di sini adalah memperoleh dan membentuk nilai-nilai positif pada masing-masing unit menurut cara masing-masing subkultur. Dnegan memahami, mengakui, dan menimbulkan nilai-nilai tersebut anda telah menyentuh unsur yang oaling dalam dari sebuah bongkahan es yang terendam di lautan. Unsur itu adalah invisible artifacts, yaitu nilai-nilai dasar, keyakinan, dan asumsi-asumsi yang di anut oleh subkultur-subkultur.

Merajut Nilai-Nilai Subkultur menjadi Budaya Korporat
        Untuk menyatukan nilai-nilai budaya yang dominan dalam masing-masing subkultur atau membuat sebuah pernyataan budaya menjadi kaya nilai dan bermakna, maka harus dirumuskan dengan memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Harus dialogis. Penyatuan nilai disusun dengan mempresentasikan nilai pada masing2 subkultur dan subkultur lainnya.
2.      Harus partisipatif. Presentasi disajikan oleh pemilik nilai tersebut.
3.      Harus memberikan ruang terhadap “Buy-in Proccess”. Proses harus bisa membuat semua pihak merasa memiliki, maka mereka akan memakainya dan menjual pada yang lain.
4.      Harus kaya cerita. Supaya bermakna maka usahakanlah memakai kalimat cerita karena mampu membuat manusia berimajinasi tentang organisasinya.
5.      Harus praktis dan mampu dijabarkan ke dalam elemen-elemen budaya. Pernyataan budaya harus dapat diturunkan ke dalam bentuk-bentuk praktis yang menjwai apa yang tersirat.
6.      Harus orisinal dan berbeda. Peryataan budaya harus berasal dari sebuah proses sejarah asli institusi tersebut.

Maka untuk merumuskan budaya korporat membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk merumuskan semacam common grounds di antara subkultur dan merajutnya ke dalam ikatan bersama. Proses seperti ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat, konsisten, dan jelas sasarannya. Salah satu caranya adalah membangun gugus-gugus tugas, kemudian dipertemukan ke dalam semacam forum bisnis perusahaan.

Visioning: proses menyatukan nilai-nilai budaya korporat
            Visioning adalah sebuah proses menyatukan nilai yang ada adalam setiap subkultur menjadi rumusan budaya yang diterima semua pihak. Terdapat tiga tahap sebagai berikut:
a.       Merumuskan nilai setiap subkultur
b.      Membawa nilai tersebut ke dalam forum untuk merumuskan nilai bersama
c.       Memperkaya nilai dan visi organisasi lalu merumuskan ke dalam strategi budaya
Untuk tahap kedua dimulai dengan membangun kepercayaan di antara blok-blok subkultur yang dibarengi dengan presentasi dan diskusi dalam forum bisnis lintas subkultur, yang membahas hal sebagai berikut:
·         Asal mula nilai pada suatu kelompok
·         Jati diri kelompok
·         Symbol-simbol kelompok
·         Kisah selama bekerja
·         Ritual kelompok
·         Bahasa
·         Disiplin
·         Cara kerja
·         Pandangan terhadap kelompok lain
·         Pandangan dua tahun ke depan
·         Pandangan lima dan sepuluh tahun ke depan
·         Kontribusi budaya subkultur.
Hal-hal yang akan dibahas tersebut di atas nantinya akan dijabarkan ke dalam berbagai pertanyaan analitik.


Tujuan visioning yaitu untuk menemukan nilai-nilai, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, pandangan-pandangan dari setiap subkultur untuk dipakai membentuk kultur baru.

Rumusan budaya korporat sebuah team untuk menganalisis dan membentuk semacam draft budaya korporat, memuat:
1.      Nilai-nilai utama serta asumsi-asumsi dasar manusia korporat. Nilai-nilai utama dan asumsi-asumsi dasar membentuk cara pandang yang menjadi tuntutan bagi setiap manusia yang tergabung dalam konstitusi.
2.      Asal mula nilai-nilai tersebut, untuk dijadikan latar belakang untuk menghadapi keadaan internal maupun tekanan eksternal dan upaya-upaya untuk menenangkannya.
3.      Visible artifacts yang masih erlevan dan harus di bentuk. Visible articrafts yang dimaksu seperti ritual, simbol-simbol, bahasa, kisah(cerita), seremoni-seremoni, slogan, dsb yang dimabil dari karyawan.
4.      Rekomendasi untuk menyatukan nilai-nilai tersebut, hambatan-hambatan yang mungkin muncul.
5.      Rekomendasi tentang nilai-nilai dan kebiasaan yang harus dibuang.
6.      Daftar tabu (hal-hal yang dilarang) sebagai karyawan/pimpinan di korporat.


Menyatukan nilai-nilai subkultur

·      Subkultur adalah ikatan emosional yang berupa ikatan-ikatan kelompok kerja, jender, ethnic group ataupun kesamaan almamater, di mana hal tersebut ada karena kesamaan yang melatarbelakangi adanya sesuatu yang berbeda.
·      Transformasi nilai-nilai organisasi perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada, yaitu dengan menyentuh akar budaya dinamika pergerakan massa agar mudah untuk diterima oleh semua subkultur organisasi yang ada dengan melalui pendekatan nilai-nilai subkultur.
·      Pemimpin perlu menyiapkan langkahnya atas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terhadap dinamika pergerakan subkultur.
·      Pemetaan kelompok-kelompok subkultur akan membantu menemukan penggabungan-penggabungan nilai kolektif subkultur yang terbentuk. Terdapat empat tahapan dalam menemukan nilai-nilai kolektif: melihat, percaya, bergerak, dan menyelesaikan.
·      Memotret subkultur memerlukan beberapa alat bantu dalam penggalian informasi seperti bagan organisasi beserta perubahan-perubahannya dalam sepuluh tahun terakhir, carrier tracdik dari tokoh-tokoh kunci baik formal maupun informal, forum-forum diskusi yang melibatkan berbagai kelompok, dan hubungan kerja eksternal organisasi.
·      Pemotretan dilakukan dengan beberapa observasi, field study, survei, wawancara mendalam, dan teknik-teknik riset lainnya. Pemotretan bertujuan untuk memetakan mereka dan mengambil nilai-nilai yang mereka anut dan dirajut untuk disatukan menjadi satu rumusan budaya yang diterima semua pihak (visioning).
·      Tujuan visioning yaitu untuk menemukan nilai-nilai, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, pandangan-pandangan dari setiap subkultur untuk dipakai membentuk kultur baru. Proses visioning terdiri dari tiga tahapan:
1.      Merumuskan nilai-nilai masing-masing subkultur.
2.      Membawa nilai-nilai subkultur tersebut ke dalam forum untuk merumuskan nilai-nilai bersama dan membangun kepercayaan di setiap subkultur yang berbeda.
3.      Memperkaya nilai-nilai dan visi perusahaan ke depan dan merumuskannya ke dalam strategi budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar